(Cerpen) Masa Akhir SMA
Masa Akhir SMA
Sebuah Cerpen Oleh Muhammad Fauzan
Awal Mula
Putih abu-abu adalah masa dimana aku mulai memberanikan diri untuk memulai menulis sebuah cerita. Sulit rasanya melupakan setiap langkah dan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Setiap masa memang punya ceritanya masing-masing, tapi cerita masa SMA adalah cerita yang penuh dengan makna.
Namaku Fauzan, teman-temanku biasa memanggilku Ozan. Mulai masuk di SMA di tahun 2015. Di SMA aku merupakan orang yang sangat ambisius dalam hal berorganisasi. Sangat berbeda ketika aku masih berada di bangku SMP yang cenderung introvert dalam hal bersosialisasi dengan teman-temanku.
Sejak awal masuk hingga masa akhir SMA, aku sudah mengikuti banyak kegiatan Ekstrakurikuler di SMA. Dari situlah aku bisa kenal banyak teman dan guru-guru di sana.
Akhir masa SMA menjadi awal cerita panjang perjalanku.
Pada hari itu di salah satu taman sekolah saat jam kosong, aku dan beberapa teman-teman seperjuanganku di SMA duduk melingkar sembari membicarakan target kedepannya nanti setelah lulus dari SMA.
“Kalian pada mau lanjut dimana nanti kalau sudah lulus ?” tanyaku serius kepada teman-temanku.
Belum sempat mendengar jawaban atas pertanyaanku, Awang, salah satu temanku justru melempar pertanyaan balik ke aku.
“Kamu sendiri mau kemana zan nanti ?” ucapnya dengan wajah yang seketika terlihat lebih serius.
“Kalau aku sih, yah target kuliah di luar Kalimantan lah, masa sejak TK sampai SMA milih di sini, terus kuliahnya juga nanti masih ngambil disini,” jawabku dengan raut wajah terlihat yakin dan sedikit tertawa.
Yah, sudah lama memang aku ingin sekali kuliah di luar pulau, apalagi beberapa film-film layar lebar yang pernah kutonton memberikan gambaran bagaimana serunya menjadi seorang mahasiswa di tanah perantauan, tapi alasan utamanya sih yah biar bisa merasakan hidup mandiri aja, bukan berarti ingin jauh-jauh dari orang tua yah.
Mendengar jawaban yang ku berikan, salah satu temanku, Adi seketika menggelengkan kepala dan mengacungkan jempolnya sambil berkata.
“Luar biasa, keren sih kalau kamu bisa kayak di film-film,” ucapnya.
“memangnya, nanti kamu nargetin kampus mana boy ?” lanjutnya bertanya.
Diperhadapkan pertanyaan itu, aku sendiri sebenarnya bingung dan masih belum tau mau milih kampus mana nantinya. Karena masih minim informasi, belum sempat browsing, belum tau nama-nama kampus di luar pulau, yah jadi untuk sementara opsi daerahnya saja yang bisa kujadikan jawaban atas pertanyaannya Adi.
“Target ngambil di Jawa nanti, tapi aku masih mau cari-cari informasi dulu ini kampus mana yang ada jurusan IT nya,” jawabku kepada Adi.
“kalau kalian ?” tanyaku balik kepada teman-temanku.
“Kalau aku sih paling ngambil kuliah di kampus yang ada disini aja, Samarinda atau Balikpapan lah,” jawab Sendy yang juga dikenal sebagai Ketua OSIS di SMAku.
Mendengar itu, aku penasaran dengan alasanya, kenapa dia menjawab seperti itu.
“Loh, kenapa nggak ngambil diluar daerah sen ?” tanyaku kepada Sendy.
“Nda bisa ngambil kuliah jauh aku, mikirin orang tuaku juga soalnya, makanya mending kuliah disini aja biar dekat, bisa pulang balik nanti,” jawabnya.
“Oh gitu yah,” ucapku menutup rasa penasaranku atas jawaban Sendy.
Selain Awang, Adi, dan Sendy, masih ada satu temanku yang yang belum disebutkan namanya padahal tadinya sebelum berkumpul dengan yang lain, dia sudah lebih dulu ada di Taman bersamaku.
Namanya Angga, dia ini salah satu teman sekelasku yang sering kupanggil kalau ngetake atau ngeproject video, badannya sedikit besar berisi karena dia memang sering banget latihan fisik.
Karena tadinya kita lagi ngebahas masalah target setelah lulus nanti, aku juga penasaran dan ingin tau, apa targetnya Angga nanti kalau sudah lulus.
“Kalau kamu ngga, kuliah atau gimana ?” tanyaku kepada Angga.
“Aku nda nargetin kuliah cok, mau jadi polisi soalnya,” jawabnya.
“Ngeri dong yah,” sahutku setelahnya.
“Iyalah, apa nda gagah itu kalau sudah berseragam nanti baru main-main ke SMA diliatin adik kelas,” ucap Angga dengan ekspersi yang sangat meyakinkan.
Mendengar perkataan Angga, aku dan teman-teman yang lainnya langsung tertawa terbahak-bahak.
“Hahahah, kalau angga sudah bicara, aminkan saja lah yah,” ucap Sendy sambil tertawa.
“Amin !!” kami berucap serempak.
Beberapa dari teman-temanku memang lebih memilih untuk berkuliah di dalam daerah karena beberapa alasan yang sangat beragam mulai dari kondisi tidak bisa jauh dari keluarga hingga persoalan biaya yang juga menjadi alasannya. Bahkan tak sedikit teman-temanku yang memutuskan untuk tidak lanjut kuliah karena alasan ingin langsung bekerja atau menikah nanti ketika sudah lulus dari SMA.
Saya teringat satu cerita dari Ibuku, ketika dulu kai dan nenekku berjuang ditengah keterbatasan kondisi ekonomi pada masanya disatu sisi kai dan neneku tetap mempunyai tekad yang besar untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan yang tinggi, alhasil anak-anaknya bisa merasakan itu.
Keadaan itu menjadi kesan dan motivasi yang menetap di dalam kepala dan pikiranku, bahwa sebagai seorang anak, sudah seharusnya aku juga mempunyai tekad atau keinginan yang tinggi untuk menempuh pendidikan.
***
Menuju Masa Akhir Sekolah
Satu bulan lagi Ujian Akhir akan berlangsung, selembaran pamflet pengumuman ujian pun mulai terpasang di sudut-sudut sekolah. Selambaran itu seolah-olah terlihat seperti lampu kuning pertanda rambu-rambu peringatan untuk siswa kelas 12 yang sudah harus mulai fokus dengan masa akhirnya menuju kelulusan.
Aku juga sudah mulai mempersiapkan diri dan mengurangi aktivitas dan kegiatan Ekstrakurikulerku di SMA dan mulai fokus pada bimbel dan latihan-latihan soal ujian.
Saat itu, selepas waktu Maghrib, aku keluar dari kamarku dan menghampiri bapak dan Ibuku yang sedang asik menyaksikan salah satu sinetron di Televisi (TV).
“Pak, sebentar lagi saya ujian akhir,” tanyaku sambil menghampiri.
“Terus ?” jawab bapakku dengan singkat.
Mendengar jawab itu, sedikit membuatku kesal karena jawabnnya sangat singkat, padat, dan seolah-seolah bersikap biasa-biasa saja.
“iya, beberapa bulan lagi, nah ini saya mau bicara sama ibu juga masalah target kuliah nanti kalau sudah lulus gimana,” ucapku.
“kamu mau ngambil kuliah dimana bang ?” tanya Ibuku.
Sekedar informasi, bang atau Abang, itu panggilanku kalau lagi di rumah.
“Hmm, rencana ini mau lanjut kuliah di luar daerah sih bu, target di Jawa,” jawabku kepada Ibu.
Mendengar perkataanku ini, seketika bapakku mengarahkan remote TV dan langsung mengurangi volumenya, nampaknya bapakku mulai ikut serius mendengar pembicaraan ini.
“Berapa biayanya kuliah di sana ?” tiba-tiba bapakku bertanya dengan raut wajah yang serius.
“Belum tau ini pak, yang jelas nanti saya mau ngambil jurusan komputer (IT),” jawabku.
Tiba-tiba telpon Ibuku berdering di atas Meja,
[**DERING TELPON BERBUNYI**]
“Angkat dulu telpon itu di meja bang !” ucap ibu menyuruhku.
Aku mengambil HP dan mengaktifkan layar melihat siapa yang menelpon, ternyata panggilan telpon dari Rahmat, adiknya Ibuku yang juga merupakan salah satu Omku yang sedang berada di Jakarta.
“Halo ?” sapa Omku di telpon.
“Iya, om ?” ucapku membalas.
“Mana ibumu ?” tanya Omku.
Mendengar itu, Ibuku langsung mengambil telponnya dari tanganku.
“Halo, knapa mat ?” tanya Ibuku.
“Nda.., mau tanya-tanya kabar aja,” balas Omku.
“Oalah kirain ada apa kamu nelpon,” ucap Ibuku.
“Eh ini nah keponakanmu mau lulus, mau lanjut kuliah di luar daerah dia,” sambung Ibuku.
Mendengar itu, om ku langsung memberikan tanggapannya bahkan memberikan opsi untuk kuliah dan tinggal di tempatnya.
“Oh iya, baguslah, kuliah di Jakarta aja dia, nanti tinggal sama om,” jawab Omku.
Aku dan bapak terdiam mendengar dan menyimak secara seksama obrolan telpon antara ibu dan Omku.
Mendengar tanggapan itu tentunya membuatkan kemudian bertanya-tanya apa dan bagaimana kampus IT di Jakarta.
“Iya, ntar ngambil di Universitas Gunadarma aja,” lanjut Omku menawarkan.
Sekedar informasi, Universitas Gunadarma itu merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang ada di Indonesia tepatnya di Jakarta Barat dan memang terdapat jurusan komputer di dalamnya.
Karena tawaran itu, membuat saya semakin yakin untuk bisa dengan mudahnya berkuliah di luar daerah nantinya.
Setelah obrolan telpon itu, aku memutuskan untuk browsing di internet dan mencari informasi terkait jurusan komputer di sana dan ternyata mendapati jurusan Teknik Informatika yang akan aku targetkan nanti.
***
Kabar Baik Dari Guru
Setelah mendapati opsi untuk nantinya berkuliah di salah satu kampus di Jakarta, aku juga mendapati kabar baik dari Ibu Sri, wali kelasku di sekolah.
Wali kelas menyampaikan bahwa 50% dari jumlah kelas 12 yang ada di sekolah kita diberikan kesempatan untuk mengikuti jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), dan beruntungnya lagi, namaku termasuk yang berkesempatan untuk mengikuti jalur itu.
Adanya kesempatan itu, membuatku sangat gencar mencari informasi PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang nantinya akan kupilih sebagai opsi di SNMPTNku. Termasuk selalu berkomunikasi dengan Guru BK (Bimbingan Konseling) pun sangat sering kulakukan agar nantinya tidak bingung saat menentukan pilihan kampus.
Beberapa hari setelah mendapat pengumuman itu, nama-nama siswa yang berkesempatan diarahkan untuk menuju Lab. Komputer sekolah untuk mengisi data dan berkas-berkas yang diperlukan.
Di dalam ruangan, terlihat teman-temanku semua sangat fokus mengisi data di komputer, sesekali aku menengok ke temanku yang berada di samping kanan dan kiriku, melihat PTN apa yang ia pilih.
Ada 3 PTN yang kupilih dan semunya mengambil jurusan IT, opsi pertama aku memilih Universitas Padjajaran (Bandung), opsi kedua Universitas Brawijaya (Malang), dan opsi terkahir Universitas Mulawarman (Samarinda).
Opsi ketiga kenapa aku milihnya Samarinda yah padahal kan targertku kuliah di luar daerah.
Ada yang bisa jawab ?
Yah jadi kenapa aku milih opsi itu, karena di SNMPTN memang salah satu PTN yang dipilih harus ada yang didalam daerah, makanya aku ngambil opsi itu yah walaupun sebenarnya nda berharap lulus disana sih, hahahahah.
Salah satu temanku, Awang yang duduk disamping kiriku mengarahkan pandangannya ke layar komputer yang sedang kuikusi dan berkata.
“Kamu yakin zan ngambil opsi itu, kampus-kampus besar itu,” katanya.
“Beh, meremehkan kah kamu wang, harus yakin lah, keterima pasti ini,” ucapku.
Sebenarnya apa yang dikatakan Awang ada betulnya sih, semua opsi yang kupilih ini termasuk PTN yang sulit dimasuki, bisa dibilang kecil kemungkinan lah bisa keterimanya.
Aku memang percaya diri sama pilihanku itu, apalagi kan selain SNMPTN, aku juga sudah punya opsi lain untuk kuliah di Jakarta nanti kalau semisal nda keterima di SNMPTN.
***
Dibalik Jam Pelajaran
Semenjak aku mendapati kesempatan SNMPTN dan Opsi untuk lanjut kuliah di Jakarta, aku mulai terkesan sangat santai saja menghadapi masa-masa akhir SMA ini.
Yah, sangking santainya, fokus persiapan ujian akhir pun mulai ku kesampingkan, beberapa jam bimbel dan kelas tidak kuikuti dengan alasan ada kesibukan diluar kelas yang harus diselesaikan (Disepensasi).
Aku dan beberapa teman seperjunganku itu sibuk mengerjakan Catatan Akhir Sekolah (CAS) sebuah project akhir masa SMA.
Mulai dari pagi hingga berakhir sore hari, bahkan sesekali kami sampai malam hari di SMA hanya untuk menyelesaikan CAS itu.
Tidak jarang juga ketika kelas bimbel dimulai, aku dan teman-temanku tidak ada dikelas dan malah bersantai di Kantin sekolah. Bahkan Sendy (Ketua OSIS SMA) juga terhasut untuk bolos jam bimbel karena harus untuk terlibat dalam project itu.
“Nda masuk bimbel kah kita ini ?” tanya Sendy dengan ekspresi yang serius seolah-olah ketakutan untuk bolos jam bimbel.
“Santai lah, bilang aja dispen (izin berkegiatan) sama gurumu, kamu loh ketua OSIS, kan kita lagi ada yang dikerja juga,” ucapku kepada Sendy.
“Kalau keseringan bolos bahaya juga nanti kita eh,” ucap Sendy.
“Nda, aman aja itu, santai ae lah” ucapku.
Memang apa yang aku dan teman-temanku lakukan ini berisiko apalagi kalau guru sampai tau bagaimana kita kalau diluar jam kelas pasti habis kita ini.
Aku memang sudah mendengar beberapa guru memang sempat mengeluh karena aku dan teman-teman terlalu sering izin dispen saat jam pelajaran.
Cuma yah, namanya masa akhir SMA kalau nda begitu, yah nda seru pasti, nda ada kesannya.
Setelah mendengar kabar itu, akhirnya aku dan teman-teman sedikit mengurangi aktivitas diluar dan mencoba untuk mengikuti jam pelajaran dan bimbel sesuai jadwal.
***
Pengumuman
Beberapa bulan berlalu, suasana kelas saat itu lagi ramai, aku dan teman sebangkuku lagi bermain game bola di Laptop. Salah satu temanku bernama Awang menghampiri dan memberi kabar bahwa pengumuman SNMPTN sudah keluar.
“Zan, sudah cek pengumuman SNMPTN kah ?” tanya Awang.
“Belum, sudah ada kah memangnya yah ?” ucapku, balik bertanya.
“Sudah, coba cek di Laptopmu,” jawab Awang, sembari menujuk ke arah layar laptopku.
Mendengar itu, aku langsung mengeluarkan game di Laptopku dan mengecek hasil pengumuman SNMPTN di Internet.
Aku dan teman-temanku terlihat sangat serius dan terkesan sedikit tegang saat membuka portal pengumuman SNMPTN.
Melihat hasil pengumuman itu, aku terdiam kaku, melihat hasil pengumumannya ternyata tidak ada satupun namaku keterima di PTN yang kupilih.
“Anjir nda ada yang keterima eh, hahahahah,” ucapku saat melihat hasil pengumuman itu sembari mengelus jidat pertanda kekecewaan di dalam diri yag diiringi sedikit ketawa kecil yang menguatkan.
“Hahahahah, Kamu sih ngambilnya terlalu tinggi zan,” ucap Awang, sambil sedikit tertawa.
Mengetahui hasil pengumuman itu, selepas jam akhir sekolah, aku langsung bergegas untuk pulang kerumah.
Setibanya di Rumah, aku langsung meyampaikan ke orangtuaku, kebetulan saat itu hanya ada ibu di rumah, ayahku masih diluar mungkin belum pulang dari tempat kerjanya.
“Bu, sudah ada pengumuman SNMPTN keluar ini, nda ada yang keterima,” ucapku, menyampaikan ke orangtua.
“Yasudah mau bagaimana lagi, kalau memang nda keterima yah dipikirkan bagaimana selanjutnya,” ucap Ibuku menasehati.
“Iya, kuliah di Jakarta aja sudah saya bu,” pintaku.
“Terserah yang mana baiknya, intinya dipikirkan baik-baik,” ucap Ibuku.
“Berapa biayanya kalau ngambil di Jakarta bang ?” lanjut Ibuku bertanya.
“Belum tau juga bu, nanti saya cari tau dulu berapa biayanya kalau disana,” ucapku.
Setelah berbicara dengan ibu, aku merasa sedikit legah karena ibu bisa menanggapi dengan bijak hasil pengumumanku itu.
***
Memahami Kondisi
Menyadari bahwa peluangku untuk kuliah di luar daerah sudah gagal satu, aku mulai kembali fokus pada targetku untuk bisa berkuliah di Jakarta.
Aku membuka laptopku dan mencari informasi berapa biaya yang dibutuhkan untuk kuliah di Universitas Gunadarma, jurusan Teknik Informatika.
Yah dari hasil penelusuranku di Internet, biaya kuliah yang dibutuhkan ternyata cukup besar, karena mengingat kampus itu merupakan perguruang tinggi kategori swasta.
Yah memang sih, kalau untuk tempat tinggal aku nanti sudah dijamin sama Omku, karena kebetulan Omku juga sudah menetap dan punya rumah disana, tapi yah biar bagaimanpun, aku tetap harus perhitungkan biaya kuliahnya berapa ditambah lagi biaya hidup di sana juga, yang mana disanakan kita kenal sebagai ibu kota negara, tentunya biaya hidup juga pasti jadi perhatian khusus.
Setelah mendapatkan informasi biaya perkuliahan, aku langsung berbicara lagi ke ibu.
“Bu, ini saya sudah cek di internet mengenai biaya kuliah di Jakarta untuk jurusan komputer,” ucapku.
“Cuma ini biayanya cukup mahal sih bu, untuk biaya awal belum lagi SPP persemesternya di atas 10jt-an,” jelasku ke Ibu.
Mendengar hal itu, Ibuku langsung terkejut.
“Kok mahal betul bang ?” tanya Ibuku.
“Iya bu, soalnya kampus swasta,” jawabku.
“Kalau segitu biayanya, nda sanggup kita, karena ini adik-adikmu juga butuh biaya untuk lanjut sekolahnya di pesantren,” ucap Ibuku, yang sepertinya mencoba menjelaskan kondisi.
Nampaknya aku harus mencoba memahami kondisi yang disampaikan ibu, yah sedikit mengurungkan niat lah untuk memaksakan berkuliah di PTS, terlebih lagi aku sebagai kakak tidak boleh egois, harus memikirkan juga keinginannya adik-adikku untuk masuk pesantren.
“Oh iya sudah bu, nanti abang coba cari opsi lain lah biar abang dan adik-adik bisa sama-sama lanjut sekolah,” ucapku.
Menyadari hal itu, artinya kesempatanku untuk kuliah di luar daerah semakin kecil, karena untuk lanjut di PTS di Jakarta membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
Beberapa waktu berlalu, saat aku sedang tidak berada dirumah, Omku kembali menghubungi Ibuku lewat telpon untuk menanyakan kabarku untuk kuliah di Jakarta.
“Bagaimana kabarnya Fauzan, jadi kuliah di Jakarta kah nanti ?” tanya Omku melalui telpon.
“Kayaknya nda bisa disana dia, terlalu mahal biayanya kemarin, sudah dicek di sini sama abang,” jawab Ibuku.
“Jadi, mau lanjut kuliah dimana dia ?” tanya Omku.
“Belum tau juga ini, tapi dia tetap mau ambil diluar daerah itu, nda mau ngambil kuliah disini,” jawab Ibuku.
“Oh yaudah, coba cek di Makassar, bagus juga disana itu siapa tau dia mau, ntar tinggal di Asrama Mahasiswa Balikpapan aja biar nda terlalu banyak biaya,” ucap Omku memberi saran.
“Iya sudah, nanti saya kasih tau ke abang,” ucap Ibuku.
Beberapa jam berlalu, setelah aku sampai di rumah, Ibuku menyampaikan apa yang tadi sudah dibicarakan dengan Omku melalui telpon.
“Tadi ommu nelpon ibu, dia bilang kamu mau nda kalau ngambil kuliah di Makassar ?” tanya Ibuku.
“Hah, Makassar ?” jawabku, dengan ekspresi kaget dan bingung.
“Kenapa tiba-tiba di Makassar ?” sahutku bertanya kepada ibu.
“Iya, om mu kan alumni dari Makassar juga itu,” jawab ibu.
Sampai disini, sebenarnya aku masih bingung untuk memutuskan kuliah dimana, apakah harus tetap menargetkan kuliah di Jawa, ataukah membuka target baru untuk kuliah di Sulawesi.
Terlebih lagi aku masih kurang sekali informasi, bisa dibilang tidak tau bagaimana perkuliahan di Sulawesi, karena memang pada awalnya aku hanya fokus pada perguruan tinggi yang ada di Jawa saja.
Namun, setelah kupikir-pikir, antara Jawa ataupun Sulawesi seharusnya bukanlah menjadi masalahnya, karena yang terpenting dari itu adalah aku bisa berkuliah di luar daerah sesuai keinginan awalku.
***
Memutuskan Untuk Pergi
Beberapa waktu berlalu, aku mendapati informasi dan langsung memutuskan untuk mengikuti jalur SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Pergurutan Tinggi Negeri).
Kesempatan ini kupersiapkan dengan baik. Mulai dari membeli buku latihan soal SBMPTN hingga mencari informasi kembali untuk perguruan tinggi mana saja yang akan kupilih nanti di SBMPTN beserta perhitungan persentase diterimanya.
Sesuai arahan dari Guru BK dan informasi yang kudapatkan, ternyata pelaksanaan SBMPTN ini untuk tempat tesnya disesuaikan dengan opsi kampus yang diambil.
Saat itu aku memilih opsi 2 kampus di Makassar dan 1 kampus di Jogja, alhasil ketika pengumuman tes keluar, aku harus melaksanakan tes SBMPTNnya di Makassar.
Sampai disini, sebenarnya masa akhir SMAku tinggal menghitung hari menuju acara kelulusan, yang mana ini akan menjadi momentum dan cerita yang paling berkesan di masa akhir SMA.
Film Catatan Akhir Sekolah yang kubuat bersama teman-temanku walaupun harus mengorbankan jam pelajaran kelas, akhirnya menjadi kado yang sangat istimewa, apalagi ketika acara kelulusan film ini diputar dan disaksikan oleh guru, orang tua, dan seluruh siswa yang hadir, nampaknya meninggalkan kesan dan tangisan bagi yang menyaksikannya.
Yah, mungkin setelah acara kelulusan itu, aku dan teman-teman SMAku akan mulai jarang untuk bertemu dan bersua lagi. Karena aku juga sudah harus mulai fokus pada targetku untuk kuliah di luar daerah.
Apalagi 3 hari setelah acara kelulusan itu, aku sudah harus berangkat ke Makassar untuk mempersiapkan diri untuk tes SBMPTN disana.
Ini kali pertamaku berpamitan sama kedua orangtuaku untuk pergi keluar daerah membawa harapan dan impian untuk menempuh pendidikan.
“Pak, bu, abang pamit ke Makassar yah,” ucapku, sembari bersalaman dan mencium tangan kedua orang tuaku.
“Iya nak, kamu hati-hati yah, jangan lupa berkabar kalau sudah sampai disana,” ucap Bapakku sembari menepuk pundakku.
“Mohon doanya pak, semoga abang lancar disana,” ucapku kepada Bapak.
Aku pun mulai berjalan menuju pintu keberangkatan bandara, meninggalkan kedua orang tuaku yang melambaikan tangannya dari kejauhan.
Semakin jauh aku melangkah dan semakin tinggi pesawat membawaku terbang mengudara, menyiratkan pesan di diriku bahwa masa putih abu-abu bukan lah akhir dari semua cerita, masih ada kisah perjalanan selanjutnya yang perlu ditulis dengan tinta yang berwarna.
Betul saja, beberapa bulan setelah masa itu berlalu, aku mendapatkan kabar bahwa namaku keterima di salah satu perguruan tinggi yang kupilih di kota Makassar, yah kampus UIN Alauddin Makassar, kini abu-abu telah berubah menjadi warna baru.
Semua usaha, pengorbanan, serta doa dari kedua orangtuaku menjadi alasan dari semua cerita itu.
*****
[Bersambung]
0 Comments
Posting Komentar